Kalimat Sempurna (Al Jumlah Al Mufidah) (1)
Kalimat Sempurna (berfaidah)
1. Taman itu bagus
2. Matahari terbit
3. Ali Mencium Bunga Mawar
4. Muhammad memetik bunga
5. Ikan hidup di dalam air
6. Pohon kurma banyak di Mesir
البَحْثُ
(pembahasan)
Apabila kita memperhatikan susunan contoh ke-1 kita akan mendapatinya tersusun dari dua kata, yang pertama البُسْتَانُُُُُُُُ dan kedua جَمِيْلٌ. Jika kita mengucapkan kata pertama saja “taman” kepada seseorang, maka kita tidak memahami kecuali makna tunggalnya saja, dan pastilah orang yang diajak bicara tidak merasa cukup (akan bertanya lagi, kenapa taman?) begitu juga jika kita ambil kata kedua saja “Indah”. Akan tetapi jika kita rangkai kedua kata ini dan kita ucapkan
البُسْتَانُُُُُُُُ جَمِيْلٌ
(taman itu indah)
kita mampu memahaminya dengan makna yang sempurna, dan kita bisa mengambil faidah dari kalimat itu, yaitu mensifati “taman” dengan sifat “indah”. Oleh karena itu kalimat seperti ini disebut JUMLAH MUFIDAH (KALIMAT YANG BERFAIDAH). Dan setiap kalimat yang tersusun dari dua kata seperti ini, maka ia termasuk ke jumlah mufidah begitupun dengan 5 contah sisanya.
Dengan ini kamu bisa melihat bahwa satu kata saja tidak akan mencukupkan lawan bicara (akan bertanya lagi maksudnya) oleh karena itu mestilah suatu kalimat tersusun dari dua kata atau lebih sampai bisa dimengerti maksudnya. Adapun contoh:
قُمْ
berdirilah!
اِجْلِسْ
duduklah!
تَكَلَّمْ
berbicaralah!
Secara dzahir, hanya satu kaja, akan tetapi ia termasuk jumlah mufidah, karena lawan bicara pasti mengerti maksud ucapan ini. Sebenarnya untuk kalimat seperti ini tidak tersusun dari satu kata saja, akan tetapi dari dua kata. Salah satunya dilafadzkan yaitu “قُمْ” dan kata lainnya tidak dilafadzkan yaitu “اَنْتَ“ yang membuat lawan bicara paham meski tidak disebut (karena makna dari kata perintah adalah berdirilah kamu! Duduklah kamu! Berbicaralah kamu!).
KAIDAH:
- Susunan kata yang memberikan faidah / pemahaman yang sempurna disebut jumlah mufidah
- Jumlah Mufidah atau kalimat sempurna tersusun dari dua kata atau lebih sampai dapat dipahami maksudnya.
Bagian-bagian Kalimat (2)
Contoh-contoh:
1. Ibrahim menunggangi kuda
2. Ismai’l bermain-main dengan kucing
3. Petani memanen gandum
4. Domba memakan buncis dan jelai (sejenis gandum)
5. Aku mendengarkan nasihat
6. Cahaya bersinar di dalam kamar
7. Perahu berjalan di atas air
8. Apakah kamu menyukai perjalanan?
Kita mengetahui pada pembahasan sebelumnya bahwa jumlah mufidah tersusun dari bagian-bagian yaitu kata-kata. Kita akan mengetahui pada pelajaran ini macam-macam kata. Kita katakan:
Jika kita membahas kalimat di atas kita akan mendapati bahwa kata ibrohim, isma’il, dan “الفَلاح” petani adalah macam-macam penamaan terhadap orang dan kata “الحِصَان” kuda, “القِطٌ” kucing, dan “الشَاة” domba adalah macam-macam hewan, dan kata “القَمْح” gandum, “الفُوْل” buncis, dan jelai “الشعِيْر” adalah macam-macam tumbuhan, dan kata “الحُجْرَة” ruangan, “السَّفِيْنَة” perahu, dan “المَاء” air adalah macam-macam benda mati, dan adapun “النصِيْحَة” nasihat, “النوْر” cahaya, dan “السفَر” perjalanan, adalah lafadzh-lafadzh yang dengannya dinamakan macam-macam yang lain. Oleh karena itu setiap kata ini disebut dengan ISIM (kata benda). Begitupun setiap kata yang digunakan untuk menamakan manusia, hewan, tumbuhan, benda mati dan hal-hal lainnya maka disebut isim.
Kemudian jika kita perhatikan lagi contoh kalimat di atas kita akan mendapati kata: “رَكِبَ” telah mengendarai, “يُدَاعِبُ” sedang bermain-main, “يَحْصُدُ” sedang memanen, dan “تَأْكُلُ” sedang memakan, semuanya menunjukkan atas suatu pekerjaan pada zaman tertentu. Maka kata رَكِبَ menunjukkan makna pekerjaan pada masa lalu (past tense), dan kata يُدَاعِبُ dan sisanya menunjukkan atas pekerjaan yang sedang dilakukan (present continous tense) atau akan dilakukan (future tense). Oleh karena itu kata-kata ini dinamakan FI’IL (kata kerja)
kemudian jika kita perhatikan lagi kita akan mendapati bahwa kalimat: di dalam “فِي“ ,di atas “عَلا“، dan apakah “هَلْ“ apabila diucapkan sendiri, tidak dipahami makna sempurna. Namun jika dimasukkan ke dalam suatu kalimat, maka akan menjadi jelas maknanya. Setiap kata-kata ini dinamakan dengan HURUF.
KAIDAH:
3. Kata itu ada tiga: Isim, FI’il, dan Huruf
a. Isim: Setiap lafadzh yang digunakan untuk menamakan manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, dll.
b. Fi’il : setiap lafadzh yang menunjukkan suatu pekerjaan pada masa tertentu
c. Huruf : setiap lafadzh yang tidak sempurna maknanya kecuali jika digabungkan bersama lainna (dalam suatu kalimat)
Pembagian Fi’il (kata kerja) Berdasarkan Waktu (3)
Pembagian Fi’il Berdasarkan Waktu
(1) Fi’il Madhi
Contoh-contoh:
1. Seekor anjing telah berlari
2. Seorang laki-laki telah berdiri
3. Sebuah kitab telah hilang
4. Sebuah jam telah berdering
5. Seorang anak perempuan telah datang
6. Ayam telah berkokok
Pembahasan:
perhatikanlah kalimat pertama pada contoh-contoh di atas kalian akan mendapati fi’il-fi’il karena setiap kata itu menunjukkan suatu perbuatan pada waktu tertentu yaitu waktu lampau. Maka kata “جَرَى“ pada contoh menunjukkan perbuatan “berlari” yang telah terjadi sebelum pembicaraan. Begitu juga kata “وَقَفَ“ menunjukkan perbuatan “duduk” yang telah terjadi sebelum pembicaraan. Oleh karena itu setiap kata ini disebut dengan “FI”IL MADHY”.
KAIDAH:
4. Fi’il Madhy adalah setiap perbuatan yang terjadi pada waktu yang telah lewat (past tense)
(2) Fi’il Mudhari’
Contoh:
1. Aku mencuci tanganku
2. Aku mengenakan bajuku
3. Aku bermain bola
4. Kami berjalan di trotoar
5. Anjing menggonggong
6. Pengawas Mengamati
7. Anak perempuan makan
8. Bunga mawar layu
Pembahasan:
kata-kata pertama pada contoh-contoh di atas semuanya adalah fi’il. Karena semuanya menunjukkan suatu perbuatan pada waktu tertentu. Jika dilihat, kata kerja ini bisa memilki makan yang sedang berlangsung atau akan berlangsung. Maka kata “اَغْسِلُ“ menunjukkan perbuatan “mencuci” pada saat yang sedang berlangsung atau akan berlangsung. Setiap kata kerja ini dinamakan dengan “FI’IL MUDHARI’”.
Jika kamu perhatikan huruf pertama pada fi’il mudhari’ maka kamu akan mendapati bahwa hanya ada hamzah 5.atau nun atau ya atau ta (disingkat aniyta). Empat huruf ini dinamakan dengan “اَحْرُفُ المُضَارَعَة“ huruf-huruf mudhara’ah.
KAIDAH:
fi’il mudhari’ adalah setiap kata kerja yang menunjukkan perbuatan pada waktu yang sedang berlangsung atau akan berlangsung. Fi’il mudhari pasti selalu diawali salah satu dari 4 huruf mudharaah yiatu hamzah, nun, ya dan ta.
(3) Fi’il Amar
Contoh-contoh:
1. Bermain bola lah kamu!
2. Beri makan kucingmu!
3. Bersihkan bajumu!
4. Tidurlah lebih awal!
5. Pelan-pelan dalam berjalan!
6. berusahalah mengunyah makanan!
Pembahasan:
Kata pertama dari setiap contoh di atas adalah fi’il karena menunjukkan atas perbuatan pada waktu yan tertentu. JIka diperhatikan, akan kita dapati bahwa setiap kata kerja itu menuntut dilakukannya sesuatu pada waktu yang akan dating sehingga karena itu dinamakan “FI”IL AMAR” (kata kerja perintah). Maka kata kerja “اِلْعَبْ“ pada contoh pertama menuntut yang diajak bicara akan pekerjaan “bermain” pada waktu yang akan datang. Begitu pula dengan kata kerja “اَطْعِمْ” menuntut kepada perbuatan “memakan” bagi yang diajak bicara pada waktu yang akan datang.
KAIDAH:
6. Fi’il Amr adalah setiap kata kerja yang menuntut dikerjakannya sesuatu pada masa yang akan datang (kata perintah).
Fa’il (predikat / pelaku) (4)
1. Burung itu terbang
2. Kuda itu berlari
3. Seorang anak bermain
4. ikan itu mengapungg
5. Nyamuk itu meenggigit
6 Seorang anak perempauan sedang makan.
Pembahasan:
contoh-contoh di atas semuanya adalah kalimat. Setiap kalimat itu tersusun dari fi’il dan isim. Jika kita membahas 3 contoh pertama, akan kita dapati bahwa yang terbang adalah burung, yang lewat adalah kuda, dan yang bermain adalah seorang anak.
Maka burung adalah yang melakukan pekerjaan terbang, kuda yang melakukan pekerjaan lari, dan dan seorang anak adalah yang melakukan pekerjaan bermain. Setiap isim ini disebut fa’il (predikat) begitupun untuk contoh sisanya.
Jika kita lihat pada contoh di atas, kita mendapati bahwa kalimat tersebut didahului oleh fi’il, dan kita dapati akhir dari kata fa’il nya dirafa’kan (dalam makna sederhananya, didhammahkan).
KAIDAH
7. Fa’il adalah isim yang dirafa’kan yang didahului oleh kata kerja (fi’il) dan menunjuk kepada yang melakukan perbuatan.
Maf’ul Bih (Objek) (5)
Maf’ul Bih (Objek)
1. Murid itu mengikat tali
2.Anak perempuan melipat baju
3. Serigala memakan domba
4. Orang yang lomba memperoleh hadiah
5. Rubah berburu ayam
6. Tukang daging menjual daging
Pembahasan:
setiap kalimat pada contoh di atas disusun oleh satu fi’il dan dua isim. Isim yang pertama dinamakan “fa’il” karena perbuatan itu dikerjakan olehnya. Apabila kita perhatikan pada 3 contoh pertama kita akan lihat bahwa isim yang kedua pada setiap contoh yaitu: “الحَبْلَ” ، الثَّوْبَ “ الخَرُوْفَ” adalah yang dikerjakan suatu perbuatan (objek). Maka kata kerja seperti “mengikat” yang dilakukan oleh murid terjadi terhadap tali, dan melipat yang dilakukan anak perempuan dilakukan terhadap baju, dan makan yang dilakukan oleh serigala dilakukan terhadap domba. Semua ini adalah fa’il. Dan الحَبْلَ” ، الثَّوْبَ “ الخَرُوْفَ” setiap sesuatu yang terjadi padanya suatu perbuatan dinamakan dengan maf’ul bih (objek). Jika kita perhatikan pada akhir kata maf’ul bih kita akan melihat bahwa ia dinashabkan.
KAIDAH:
8. Maf’ul bih (objek) adalah isim yang dinashabkan yang suatu perbuatan terjadi padanya.
Perbandingan antara fa’il (predikat) dan maf’ul bih (objek) (6)
Perbandingan antara fa’il dan maf’ul bih
1. Kuda menarik roda (semacam gerobak)
2. Anak laki-laki memetik bunga
3. Fatimah mengikat kambing muda
4. Petani menyiram bibit tanaman
5. Pemain melemparkan bola
6. Polisi mengepung pencuri
Kesimpulan:
Kita tahu dari pembahasan terdahulu dan dari memperhatikan contoh di atas bahwa:
1. Setiap fa’il dan maf’ul itu adalah isim
2. Fa’il adalah yang mengerjakan sutu perbuatan
3. Maf’ul bih adalah yang dikenakan suatu perbuatan
4. Akhir kata fa’il harus dirafa’kan
5. Akhir kata maf’ul bih harus dinashabkan
Mubdata (diterangkan) & Khabar (menerangkan) (7)
Mubtada dan Khabar
Contoh-contoh:
1. Apel itu manis
2. Gambar itu indah
3. Lari itu bermanfaat
4. Kereta itu cepat
5. Kebersihan adalah kewajiban
6. Bumi itu bulat
Pembahasan:
contoh-contoh di atas semuanya adalah kalimat, dan setiap kalimat tersebut disusun dari 2 isim, isim yang pertama adalah yang memulai suatu kalimat yang disebut “mubtada”. Maka jika kita cukupkan saja pada kata yang pertama kemudian kita berkata: “apel..”, atau “gambar..”, “lari…” maka pastilah ada pertanyaan selanjutnya: “ya, kenapa apel? Kenapa gambar? Kenapa lari?”. Oleh karena itu jika kita katakan Apel itu manis, gambar itu bagus, lari itu bermanfaat, pastilah kalimat ini bisa dipahami dengan sempurna. Dan yang membuat kita paham adalah isim kedua pada setiap kalimat, yang memberi keterangan tentang manisnya apel, indahnya gambar, dan bermanfaatnya lari. Semua ini dinamakan khabar.. Jika kita perhatikan bahwa akhir setiap isim dari dua isim ini kita mendapatinya dirafa’kan (dalam makna sederhananyam didhammahkan).
KAIDAH:
9. Mubtada adalah isim yang dirafa’kan yang ada pada awal kalimat
10. Khabar adalah isim yang dirafa’kan yang bersatu dengan mubtada agar menjadi jumlah mufidah.
Jumlah Fi’liyyah (kalimat kata kerja) (8)
Jumlah Fi’liyyah
Contoh-contoh:
1. Kilat bercahaya
2. Serigala mengaum
3. Salju berjatuhan
4. Hawa dingin memuncak
5. Petiklah mawar!
6. Ambillah kitab!
Pembahasan:
Kita tahu dari pembahasan terdahulu bahwa setiap kalimat di atas termasuk jumlah mufidah karena ia tersusun dari dua kata atau lebih dan memberikan faidah kepada pendengar (dimengerti). Jika kita perhatikan setiap kalimat-kalimat ini tersusun dari fi’il dan fa’il. Oleh karena setiap kalimat ini dimulai dengan fi’il, maka ini dinamai jumlah fi’liyyah.
KAIDAH:
11. Setiap kalimat yang tersusun dari fi’il dan fa’il dinamakan jumlah f’iliyyah (kalimat fi’il)
Jumlah Ismiyyah (9)
Jumlah Ismiyyah
Contoh-contoh:
1. Rumah itu luas
2. Udaranya sejuk
3. Debu itu beterbangan
4. Jalanan Macet
5. Jalanan itu sempit
6. Tikus itu bersembunyi
Pembahasan:
Setiap contoh di atas adalah jumlah mufidah dan setiap jumlah di atas tersusun dari 2 isim, yang pertama mubtada dan yang kedua khabar. Oleh karena setiap jumlah ini diawali dengan isim maka dinamakan jumlah ismiyyah.
KAIDAH:
12. Setiap kalimat yang tersusun dari mubtada dan khabar dinamakan jumlah ismiyyah.
Nashab bagi Fi’il Mudhari (10)
Nashab Fi’il Mudhari’
Contoh:
1. Aku ingin pandai berenang
2. Aku berharap udara akan sejuk
3. Aku senang kamu mengunjungiku
4. Aku tidak akan berbohong
5. Orang malas tidak akan beruntung
6. Aku tidak akan memukul kucing
***
7. Kalau begitu kamu tinggal bersama kami (jawaban kamu atas orang yang berkata: “Aku akan mengunjungi kotamu”)
8. Kalau begitu perdaganganmu akan menguntungkan (jawaban kamu atas orang yang berkata: “aku akan memegang amanah”)
9. Kalau begitu udara akan pengap(jawaban kamu atas orang yang berkata:”aku akan menutp jendela”)
Pembahasan:
Setiap contoh di atas terdapat fi’il mudhari’ yang didahului oleh salah satu dari empat huruf:
اَنْ، لَنْ، اِذَن، كَيْ
Jika kita perhatikan akhir dari fi’il mudhari’ yang didahului oleh empat huruf ini kita dapati fi’il mudhari itu dinashabkan (dalam makna sederhana, difathahkan). Akan tetapi jika empat huruf ini dibuang, kita akan dapati fi’il dirafa’kan
Dari yang demikian itu dipahami bahwa huruf-huruf ini menashabkan f’il mudhari’ yang ada setelahnya.
KAIDAH:
13. Fi’il Mudhari’ dinashabkan ketika didahului oleh salah satu dari huruf nashab yang empat yaitu:
اَنْ، لَنْ، اِذَن، كَيْ
Jazm bagi Fi’il Mudhari (11)
Jazm bagi Fi’il Mudhari’
Contoh-contoh:
1. Muhammad belum menghafal pelajarannya
2. Hujan yang turun belum berhenti
3. Seorangpun belum menangkap pencuri
4. Jangan kamu makan dalam keadaan kenyang!
5. Jangan banyak tertawa!
6. Jangan cepat-cepat dalam berjalan!
***
7. Jika kamu buka jendala kamar, udara akan terbaharui (pertukaran udara)
8. Jika kamu duduk-duduk di jalan, kamu akan sakit.
9. Jika saudara kamu pergi, kamu pergi bersamanya
Pembahasan:
fi’il mudhari pada setiap contoh di atas didahului oleh salah satu dari dua huruf: “لَمْ” (belum) dan “لاَ” (jangan). Huruf yang pertama menunjukkan atas penafian suatu perbuatan pada waktu yang telah berlalu, adapun huruf kedua adalah pelarangan terhadap lawan bicara untuk mengerjakan suatu perbuatan.
Apabila kamu perhatikan akhir setiap 6 contoh mudhari’ pertama yang didahului oleh salah satu dari dua huruf ini, kamu akan mendapatinya dalam keadaan dijazmkan (dalam makna sederhana, disukunkan), akan tetapi jika kamu buang huruf ini, jaku akan mendapatinya dirafa’kaan. Oleh karena itu kedua huruf ini apabila masuk atas mudhari’ maka akan menjazmkan akhir katanya.
Jika kamu perhatikan 3 contoh kedua kamu akan mendapati setiap contoh diatas yang diawali dengan huruf “اِنْ“ mengandung 2 fi’il mudhari yang dijazmkan keduanya. Fi’il pertama adalah syarat bagi fi’il kedua. Maka membuka jendela pada contoh pertama adalah syarat untuk terbaharui udara. Adapun yang memberi efek syarat dan menjazamkan kedua fi’il dalam setiap kalimat adalah huruf “اِنْ” oleh karena itu ia disebut sebagai “اِنْ حَرْفُ شَرْطٍ وَجَزْمٍ” huruf syarat dan jazm. Dinamakan fi’il yang pertama dengan fi’il syarat, dan fi’il yang kedua jawab syarat.
KAIDAH:
14. Fi’il mudhari’ dijazmkan jika didahului oleh huruf jazm seperti huruuf berikut: “لَمْ” belum, “لاَ آلنَّاهِيَة” Laa dengan makna larangan (jangan), dan “اِنْ” jika.
15. لَمْ، dan لاَ keduanya menjazmkan satu fi’il mudhari. لم menafikan terjadinya perbuatan pada masa lalu (belum) dan لا melarang dari dikerjakan suatu perbuatan (jangan).
16. اِنْ menjazmkan dua fi’il dimana fi’il pertama adalah syarat terjadinya fi’il kedua.
Rafa’ bagi Fi’il Mudhari’ (12)
Rafa’ bagi Fi’il Mudhari’
Contoh-contoh:
1. Burung merpati terbang
2. Musafir itu pulang
3. Awan berjalan
4. Hujan turun
5. Debu berterbangan
6. Hakim memberi keputusan
Pembahasan:
fi’il-fi’il pada contoh di atas semuanya adalah fi’il mudhari’. Apabila kita perhatikan akhir dari fi’il mudhari’ tersebut dirafa’kan. Kenapa dirafa’kan? Sebabnya adalah fi’il-fi’il ini tidak didahului sesuatu dari ‘amil yang mewajibkan nashab, atau mewajibkan jazm oleh karena itu dirafa’kan. Maka kosongnya fi’il itu dari ‘amil nashab dan ‘amil jazam adalah sebab rafa’.
KAIDAH:
17. Fi’il mudhari’ dirafa’kan jika tidak didahului oleh ‘amil nashab dan ‘amil jazm
Kaana dan saudara-saudaranya (13)
Kaana dan Saudara-saudaranya.
Contoh-contoh:
1. Kemacetan itu parah :: Kemacetan yang telah terjadi itu parah
2. Rumah itu bersih :: Rumah itu bersih
3. Baju itu pendek :: Baju itu menjadi pendek
4. rasa dingin itu memuncak :: Rasa dingin menjadi memuncak
5. Pembantu itu kuat :: pembantu itu tidaklah kuat
6. Pekerja itu rajin :: Pekerja itu tidaklah rajin
7. Orang rakus itu sakit :: orang rakus itu sakit pada pagi hari
8. udaranya lembab :: udaranya lembab di pagi hari
9. Pekerja itu kelelahan :: pekerja itu kelehan di sore hari
10. Bunga itu layu :: bunga itu layu di sore hari
11. Awan itu tebal :: awan itu tebal di waktu dhuha (sekitar jam 10)
12. Jalanan itu macet :: Jalan itu macet di waktu dhuha
13. Hujannya deras :: hujannya deras di siang hari
14. Debu berterbangan :: debu berterbangan di siang hari
15. Lampu itu menyala :: lampu itu menyala di malam hari
16. Orang sakit itu menderita :: Orang sakit itu menderita di malam hari
Pembahasan:
setiap contoh pada bagian pertama (kanan) tersusun dari mubtada’ dan khabar. Keduanya dirafa’kan sebagaimana yang kamu ketahui. Apabila kamu lihat bagian kedua (kiri), kamu mendapati contoh-contoh itu didahului oleh salah satu dari fi’il-fi’il berikut:
كاَنَ - صاَرَ-لَيْسَ-اَصْبَحَ-اَمْسَى-اضْحَى-ظَلَّ-باَتَ
apabila kamu perhatikan akhir dari isim-isim pada bagian ini, kamu mendapati bahwa isim pertama pada setiap contoh itu dirafa’kan dan isim keduanya dinashabkan seluruhnya. Perubahan ini terjadi tidak lain karena adanya fi’il-fi’il di atas yang masuk atasnya. Jika fi’il-fi’il ini apabila masuk atas mubtada dan khabar, maka ia merafa’kan (dalam arti sederhana, mendhammahkan) isimnya (mubtada) dan menashabkan (dalam arti sederhana, menashabkan) khabarnya. Begitupun juga dengan bentuk fi’il mudahari’ dan fi’il amr dari fi’il-fi’il tersebut memiliki pengaruh seperti itu kecuali “لَيْسَ“ yang tidak memiliki mudhari’ dan amr nya.
Apabila kamu perhatikan makna dari fi’il-fi’il ini, akan kamu dapati bahwa “كان“ berfungsi memberi sifat mubtada dengan khabar pada masa yang telah lalu, dan “صار“ menunjuki atas perubahan mubtada dari suatu kondisi ke kondisi lain, dan “ليس“ berfungsi sebagai penafian, adapun
اَصْبَحَ-اَمْسَى-اضْحَى-ظَلَّ-باَتَ
berfungsi memberi keterangan waktu mubtada’ dengan khabar berturut-turut waktu subuh, waktu sore, waktu dhuha, waktu siang, dan waktu malam.
KAIDAH:
18. jika كَانَ masuk atas mubtada dan khabar , maka dirafa’akan isim yang pertama (mubtada) dan disebut isim kaana “اسم كان“، dan menashabkan isim yang kedua (khabar) dan disebut khabar kaana “خبر كان“
19. Sama seperti kana, fi’il berikut juga memiliki pengaruh tersebut, fi’il itu adalah:
صاَرَ-لَيْسَ-اَصْبَحَ-اَمْسَى-اضْحَى-ظَلَّ-باَتَ
fi’il-fi’il ini disebut dengan suadara-saudara kaana
20. Setiap fi’il mudhari’ dan amar dari fi’il tersebut memiliki pengaruh seperti fi’il madhinya, kecuali ليس karena tidak punya bentuk mudhari’ dan amr nya.
Inna dan Saudara-saudaranya (14)
Inna dan saudara-saudaranya
Contoh-contoh:
1. Onta itu bagus :: Sungguh onta itu bagus
2. Piramid itu tua :: Sungguh piramid itu tua
*****
3. Masa ujian sudah Dekat :: Aku tahu sesungguhnya masa ujian sudah dekat
4. Bunga itu tumbuh dengan baik :: Aku senang karena sungguh bunga itu tumbuh dengan baik
*****
5. Buku adalah guru :: Buku bagaikan (seperti) guru
6. Bulan itu lampu :: Bulan bagaikan (seperti) lampu
*****
7. Perabot rumah tangga itu tua :: Rumahnya baru, akan tetapi perabotannya lama
8. kerugiannya sedikit :: Api membesar, akan tetapi kerugiannya sedikit
******
9. Buah itu sudah masak :: Andai buah itu sudah masak
10. Bulan itu sudah muncul :: Andai bulan itu sudah muncul
*******
11. Buku itu murah :: Semoga buku itu murah
12. Orang sakit itu tidur :: Semoga orang sakit itu tidur
Pembahasan:
Setiap contoh pada bagian kanan tersusun dari mubtada dan khabar dan keduanya dirafa’kan sebagaimana yang telah kamu ketahui. Apabila kamu lihat pada bagian yang kiri, kamu akan mendapati contoh tersebut telah masuk atasnya huruf-huruf berikut:
اِنَّ، اَنَّ،كَاَنَّ، لَكِنَّ،لَيْتَ، لَعَلَّ
jika kamu perhatikan semua isim pada bagian kiri ini, maka akan kamu dapati isim pertama (mubtada) pada setiap contoh tersebut dinashabkan dan setiap isim keduanya (khabar) dirafa’kan. Perubahan ini terjadi karena adanya huruf-huruf di atas. Huruf-huruf tersebut jika masuk atas mubtada dan khabar, maka ia menashabkan yang pertama (mubtada) dan disebut isim nya, dan merafa’kan yang kedua (khabar) dan disebut khabar nya.
Apabila kalian mau telusuri makna-makna huruf yang enam di atas, akan kalian dapati bahwa makna “اِنَّ“ dan “اَنَّ“ untuk menguatkan (penekanan makna) kondisi khabar bagi mubtada’, dan “كَان“ bermakna penyerupaan mubtada dengan khabar, dan “لكن“ bermakna mempertentangkan, yaitu mencegah pendengar dari memahami sesuatu yang tidak dimaksudkan, dan “ليت“ menunjukkan atas makna pengandai-andaian (التَّمَنِّيْ) terjadinya khabar, dan “لعل“ menunjukkan makna harapan (الرَجَاء) terjadinya khabar.التَّمَنِّيْ biasanya digunakan untuk harapan yang lama (sulit) terwujud, sedangkan الرَجَاء biasanya digunakan untuk harapan yang segera (mudah) terwujud.
KAIDAH:
21. Jika اِنَّ، اَنَّ،كَاَنَّ، لَكِنَّ،لَيْتَ، لَعَلَّ masuk atas mubtada dan khabar, maka menashabkan mubtada’ dan disebuut isim nya, dan merafa’kan khabar dan disebut khabar nya.
Jar untuk Isim (15)
Jar atau Khafadh untuk Isim
1. Hujan turun dari langit
2. Ikan berasal dari laut
3. Pasukan berjuang ke medan perang
4. Pejalan kaki berjalan di trotoar
5. Tentara turun dari kuda
6. Rasa takut pergi dari seorang anak
7. Kayu terhanyut di atas air
8. Buah jatuh di atas tanah
9. Anjing menggonggong di taman
10. Terpidana masuk di penjara
11. Aku mengupas Buah dengan pisau
12. Tentara berperang dengan pedang-pedang
13. Hadiah itu untuk pemenang
14. Aku membeli kunci untuk lemari
Pembahasan:
Kata terakhir dalam setiap kalimat di atas adalah isim dan setiap isim itu didahului oleh huruf. Maka pada kelompok pertama didahulukan dengan huruf مِنْ dan pada kelompok kedua didahului oleh huruf اِلَى dan kemudian kelompok-kelompok selanjutnya didahului oleh عَنْ، فِيْ، الباء، اللام .
Apabila kita perhatikan akhir setiap kata yang didahului oleh huruf-huruf di atas kita akan mendapatinya dijarkan (dalam arti yang sederhana, dikasrohkan). Ini tidak lain disebabkan karena masuknya huruf-huruf ini, oleh karena itu dinamakan dengan huruf jar.
KAIDAH:
22. Isim dijarkan apalabila didahului salah satu dari huruf -huruf jar. Huruf jar itu:
مِنْ(dari), اِلَى (ke), عَنْ(dari), عَلَى(di atas), فِيْ(di dalam), البَاءُ(dengan), الكَافُ(seperti), اللاَمُ(bagi/untuk).
Kata Sifat (Na’at) (16)
Na’at (kata sifat)
Contoh-contoh:
1. Ini adalah kitab yang bermanfaat
2. Aku membaca kitab yang bermanfaat
3. Aku melihat kitab yang bermanfaat
1. Ini adalah lapangan yang luas
2. Aku melihat lapangan yang luas
3. Aku berlari pada lapangan yang luas
1. Bunga mawar yang indah bermekaran
2. Aku memetik bunga mawar yang indah
3. Aku mellihat bunga mawar yang indah
Pembahasan:
Setiap contoh dari kalimat yang tiga: “مُفِيْد”، “فَسِيْح”، الجَمِيْلَة” mensifati isim sebelumnya, artinya menunjukkan sifat yang ada padanya, oleh karena itu dinamakan dengan “NA’AT”, dan dinamakan isim yang sebelumnya dengan “MAN’UT” (yang disifati).
Jika kita perhatikan setiap (baris akhir) na’at ini mengikuti (baris akhir) man’ut pada rafa’ nya, nashabnya, dan jar nya. Kalimat مُفِيْد pada contoh ketiga datang dalam keadaan rafa’, kemudian nashab, kemudian jar mengikuti isim sebelumnya, begitupun dengan dua kata : “فَسِيْح”، الجَمِيْلَة“ seperti itu.
KAIDAH:
23. Na’at adalah lafadzh yang menunjuki atas sifat pada isim yang sebelumnya, dan dinamakan isim yang disifati ini dengan Man’ut.
24. Na’at itu mengikuti man’ut pada rafa’ nya, nashab nya, dan jar nya.
terimakasih bnyak atas ilmunya... dan alhamdulillah presentasi saya lbih mudah tentang jumlah mufidah ini
BalasHapus